Sunday, February 18, 2018

Mencintai Dengan Naif

Poster Cutie and The Boxer

Menikahi seseorang tidak cukup hanya dengan alasan dia keren atau memiliki minat yang sama. Itulah point of view Saya setelah menonton film dokumenter yang berjudul Cutie and The Boxer. Dimana ada korelasi kisah romansa yang dialami tokoh dalam film ini dengan kisah romansa Generasi Y.


(Spoiler alert)
Film ini menampilkan kehidupan pernikahan sepasang suami istri berasal dari Jepang yang berprofesi sebagai seniman dan hidup di New York. Mereka adalah Ushio Shinohara (Bullie) dan Noriko (Cutie). Saat film ini dibuat, Ushio telah berusia 80 tahun dan Noriko berusia 60 tahun. Mereka telah menikah selama 40 tahun. Noriko pertama kali menginjakkan kaki di New York saat berusia 19 tahun. Dia adalah art student. Bertemulah dia dengan Ushio yang saat itu berusia 40 tahun. Ushio sudah memiliki reputasi di New York sebagai salah satu seniman jenius. Tak butuh waktu lama mereka jatuh cinta dan akhirnya menikah. Saat itu Noriko sedang 6 bulan mengandung anak pertama mereka. Orang tua Noriko yang mengetahui pernikahan mereka, menghentikan support financialnya. Sejak itu perjuangan hidup Ushio dan Nuriko dimulai. Mereka kesulitan menjual karya-karya mereka.

Kehidupan Ushio yang tidak stabil terlihat saat pertama kali bertemu dengan Noriko. Namun Noriko pada saat itu masih terlalu muda untuk berpikir jauh kedepan. Noriko mencintai Ushio dengan naive. Dipenghujung usianya, mereka masih harus memutar otak demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Noriko selain masih aktif melukis, dia juga membuat karikatur semi-autobiografi yang menceritakan kehidupan pernikahannya. Karakter dirinya diberi nama Cutie dan Ushio bernama Bullie. 

Noriko dalam hati kecilnya mungkin menyesali keputusannya menikahi pria yang tidak stabil secara keuangan. She always struggle since that day. Tapi dia mengakui, dari situlah inspirasinya berdatangan. Dan dia memilih untuk mencintai Ushio dengan tulus dan menerima takdirnya. 

Sedangkan Ushio pria yang memiliki prinsip "Live For The Moment". Segala publikasi tentang dirinya sebagai salah satu seniman terbaik di New York, berbanding terbalik dengan apa yang dia miliki secara materi. Dia sangat mencintai Noriko dan walau hidup dalam kesulitan, dia selalu ingin memberikan yang terbaik dan bertanggung jawab  untuk keluarganya. Hal ini terlihat saat dia bersikeras untuk mencoba peruntungan dengan menjual karyanya ke Jepang saat mereka harus membayar sewa rumah tinggalnya. 

Dalam suatu wawancara, Ushio sedikit mengeluh karena sebenarnya film Cutie And The Boxer ini lebih banyak bercerita tentang istrinya, bukan tentang karya Ushiro. Egonya sebagai seorang seniman yang genius terusik. Bagaimanapun, kita memang harus mengangkat topi untuk Noriko karena memilih tetap menghabiskan hidup dengan Ushio. Tidak mudah menjadi Noriko, bahkan saat berkaryapun terkadang suaminya sedikit mengintimidasi. 

Nilai positifnya, mereka sangat produktif untuk berkarya bahkan sampai usia lanjut. Mereka mampu berusaha bahagia disegala keterbatasan. Hitam putih adalah kehidupan pernikahan mereka dan warna-warni adalah karya mereka. Kehidupan pernikahan memang tidak selamanya bahagia. Bahkan pasangan yang secara materi stabil juga mempunyai permasalahan lain. 

Mencintai dengan naif ini banyak terjadi di sekitar kita terutama di Generasi Y. Mereka terlena dengan slogan mencintai dengan tulus. Ada yang kuat menjalaninya, banyak pula yang memilih balik kanan. Tidak ada yang salah dengan pilihan itu dan apapun pilihannya pasti ada konsukensinya. Memilih pasangan hidup memang harus bijak, teliti, penuh pertimbangan dan butuh keberanian atas segala resiko. Saran ini Saya dapatkan dari teman-teman yang sudah menikah. Love is not enough. 

Ada 1 tugas penting untuk kita saat mengarungi kehidupan berumah tangga, yaitu membesarkan generasi selanjutnya yang brilliant dan lebih baik lagi. Mencintailah dengan logika. Karena kondisi keluarga yang stabil akan menghasilkan anak-anak emas.

Cutie and The Boxer adalah bukan sebuah film dokumenter tentang 2 seniman, tapi film tentang kehidupan pernikahan.






Tuesday, February 13, 2018

Me and My Dad


Papa adalah satu-satunya orang tua kandung yang masih Saya miliki sampai hari ini. Mama Saya meninggal saat Saya berusia 8 tahun. Sejak itu, Saya tidak tumbuh atau diasuh oleh Papa. Saya berpindah-pindah dan hanya berjumpa dengan Papa sesekali. Setahun setelah Mama meninggal, Papa menikah lagi dan setahun kemudian Kami tinggal bersama. Sayang, harapan Saya untuk tinggal bahagia bersama orang tua kandung tidak terwujud. Kecemburuan orang baru yang hadir dalam hidup Kami, membuat hubungan Saya dan Papa berjarak tanpa kita sengaja. Sampai pada akhirnya, hubungan Kami benar-benar berjarak.

Saya dan Papa hampir tidak pernah akur. Kami tidak saling memahami. Kami berbeda pandangan hidup. Dan Papa memang orang yang unik, dia bukanlah seseorang yang perasaannya peka. Terkadang Saya membatin, "Mungkin ini yang dulu dirasakan mama". Seiring berjalannya waktu, saat Kami semakin tua, hati Kami melunak. Kami tetap menjalani hidup Kami masing-masing, namun saat ini Kami lebih menerima keadaan, menerima masa lalu tanpa menyalahkan apapun. Kami sadar Kami sama-sama butuh. Saya perlu Papa sekedar mendengarkan walau kadang tak menghasilkan solusi. Dan bagaimanapun, mungkin hanya Saya harapan Papa satu-satunya untuk merawatnya saat dia tua nanti.

Setelah keabsenan kehadiran hubungan ayah dan anak, Saya menyadari, Papa Saya begitu sayang sama Saya. Dia ingin memberikan yang terbaik walau terhalang oleh sesuatu. Dan Saya pun tidak boleh jumawa, bagaimanapun Saya bisa punya pekerjaan bagus karena Papa yang memasukkan kerja saat Saya baru lulus SMK. Saya baru menyadari keberuntungan itu setelah 1 dekade. Apa jadinya jika Papa tidak merekomendasikan Saya pada waktu itu, Saya cuma lulusan SMK. Saya tidak akan ada dititik ini.

Sebesar apapun amarah Saya, Saya tak bisa memungkiri, I have his DNA. Bahkan Kami punya kebiasaan yang sama. I'm not a perfect daughter. Saya rasa walau Saya tidak menceritakan perjalanan hidup Saya diluar, dia tahu dengan sendirinya tanpa harus ikut campur. I believe, parents have a good instinct to their children.

So guys, bersyukurlah jika kalian masih punya orang tua lengkap. Jangan menyembunyikan apapun, karena marahnya orang tua hanya sementara. Dan percuma saja kalian menutup-nutupi, ingat, mereka punya pengalaman hidup dan mereka tidak sebodoh yang kita pikir. Apa kalian tega membohongi orang tua kalian yang sudah bekerja keras supaya kamu bisa memiliki hidup yang lebih baik, yang sudah menyekolahkan kamu sehingga kamu bangga akan gelarmu itu.  We are nothing without them.




Me and My Dad