Sunday, November 5, 2017

Budaya Patriarki Merugikan Wanita




Mengejutkan! Tak lama setelah Saya menulis pengalaman street harassment, ada beberapa teman Saya yang menceritakan pengalaman serupa. Sekali lagi, sexual harassament dialami oleh sebagian besar wanita di planet ini. Dan biasanya yang melakukan adalah lelaki yang kadar kecerdasannya dibawah rata-rata . Teman-teman Saya ini awalnya memilih diam. Mereka bingung kemana harus mengadu, karena pada akhirnya perempuan yang disalahkan. Ketika Saya memilih untuk speak up dan menceritakan secara gamblang, mereka seakan punya teman senasib. Selama ini korban sexual harassment lebih meilih diam.

Saya akan sharing sedikit pengalaman teman Saya. Sebut saja mrs. A dan ms. B.

"Sabar-sabar aja, Jeung, tinggal di Indonesia mah", kata mrs. A mengawali percakapan Kami. Mrs. A ini sudah pindah ke Australia ikut suaminya yang asli Perth.

"Gue waktu ke kantor polisi minta surat SKCK aja masih digodain polisi. 'Neng, mau kemana? Pake celana ketat banget'."
Padahal ya Mrs. A ini emang bentuk badannya semok. Jadi dia mau dipakein baju kurung pun, tonjolan-tonjolan ditubuhnya akan masih terlihat jelas. Kenapa ya masih banyak orang yang menyalahkan pakaian? Kenapa mereka ga paham karena ya emang bentuk tubuh kita yang begitu.

"Trus ya, kalo perempuan Indonesia pacaran atau kawin sama bule, pasti deh kita dibilang muka babu makanya laku sama bule"
Saya sampai saat ini masih mengalami dicemooh orang karena pacar Saya orang kaukasian. Dari dibilang kayak perek sampai dibilang...muka kampung. Saya kasih alasan sedikit ya kenapa Saya lebih memilih pacaran sama bule. Pertama, ya emang dapetnya dia dan kita sama-sama suka. Kedua, beneran deh, menjalani hubungan dengan pria yang open minded lebih enak daripada dengan pria yang penganut budaya patriarki garis keras. Ketiga, kulit Saya coklat dan badan Saya kurus. Bukan selera cowok Indonesia banget lah yang lebih suka perempuan kulit putih dan badan bohay. Ya sebagai orang waras jelas Saya lebih memilih pria yang mengagumi Saya dooong...
Jadi  kesimpulan Saya, orang-orang yang mencemooh orang Indonesia yang punya pasangan dari bangsa lain, ya karena mereka ngiri aja karena kalah keren atau ngiri pengen punya pasangan kayak pasangan kita tapi ga kesampaian. Hahaha.


Beralih ke cerita Ms. B. Dia hampir diserang sama cowok yang sempat dekat, bahkan cowok ini berani masuk ke kontrakannya Ms. B, yang sialnya saat itu Ms. B lupa kunci pintu. Mereka berdua ribut, Ms. B mengancam akan lapor polisi jika dia berani masuk kerumah tanpa izin. Tahu apa yang dijawab pria itu? Dia bilang karena Ms. B yang memberi dia kesempatan untuk berbuat itu. WTF!
Saya penasaran tanya bagaimana ketemunya dan siapa namanya. Pria ini sama-sama pekerja kreatif tepatnya fotografer freelance yang sialnya dia adalah salah satu follower Saya di twitter. Ms. B cerita awal pertemuan mereka berasal dari dating apps.

Dalam cerita diatas, apakah Ms. B salah? Tidak. Memang kalo cari pasangan dari dating apps kenapa? Cowok itu aja yang niatnya ga bener. Sebagian besar orang kita beranggapan cewek yang punya profile di dating apps adalah cewek rantangan. Mrs. A cerita salah satu teman dia bilang, "Kalo ketemuan sama cowok lokal mah pada belagu. Bayarin makan kagak tapi minta ML".

Contoh diatas diakibatkan budaya patriarki yang sudah mendarah daging. Para penganut ini beranggapan perempuan itu haram menolak keinginan laki-laki walaupun si perempuan tak suka akan tindakan itu. Lantas para pria minder itu men-cap perempuan yang berani bersuara adalah perempuan sombong. Lalu muncul lah sumpah serapah terhadap perempuan.

Bagi para penganut patriarki, perempuan itu hanya dapur dan kasur. Mereka juga menganggap perempuan yang memiliki karir adalah perempuan sombong yang tidak akan menghargai suami. Kenapa ya mereka tidak berpikir untuk berusaha lebih keras jika takut egonya dilangkahi perempuan? Kenapa mereka sibuk menyalahkan kemampuan perempuan daripada mencari cara bagaimana agar Kami, perempuan yang mereka anggap sombong bisa menghargai mereka? Dalam banyak kasus, jelas perempuan kuat ini jadi tidak menghargai mereka karena akhirnya mereka hanya numpang hidup dari kerja keras perempuan.

Budaya patriarki di Indonesia memang sudah mengkhawatirkan. Sialnya mereka beranggapan itu adalah ajaran agama dan norma,  dan mereka berlindung dibalik itu. Padahal sih memang mental dia aja yang jongkok. Saya pribadi sebagai perempuan, tidak meminta posisi perempuan lebih tinggi dari pria. Kami punya suara seperti kalian para pria. Kami ingin dihormati sebagaimana pria juga ingin dihormati. Saya bersyukur pria di lingkungan Saya adalah pria-pria cerdas yang tidak memandang sebelah mata terhadap perempuan. Dan Saya berterima kasih kepada kalian, para pria open minded yang berhasil memutuskan mata rantai budaya patriarki. Karena kami, pria dan perempuan punya tanggung jawab bersama, yaitu menciptkan generasi selanjutnya yang lebih baik lagi dimasa depan.

No comments:

Post a Comment