Belakangan banyak ditemui sekumpulan anak-anak muda yang ga terlalu muda-muda amat bergaya futuristik. Gaya andalan mereka adalah wool coat. Walau di Jakarta suhunya bisa 40 derajat tapi mereka terlihat nyaman mengenakan pakaian berbahan tebal. Mereka mengaku anak indie banget dan suka segala sesuatu yang vintage. Mereka itu yang biasa disebut Hipster.
Hipster adalah gaya hidup anti mainstream. Mereka menganggap diri mereka unik dan beda dari yang lain. Sebenarnya kaum hipster sudah ada sejak lama yaitu 1940.
Gue sangat tergelitik untuk membuat tulisan tentang fenomena hipster ini. Karena gue menganggap mereka itu... ajaib. Tapi ada beberapa hal yang bikin gue kadang-kadang kesel sama anak-anak hipster itu. Gue ga mau hanya menulis dari sudut pandang gue sendiri. Ya sebenarnya biar seru aja sih, gue perlu pendapat orang lain juga soal anak-anak hipster. Disini gue mencoba membuat beberapa pertanyaan tentang definisi hipster ke 2 teman gue. Dan kedua teman gue itu diinisialkan JP dan TW. Dan juga gue sendiri yang akan memberikan pendapat gue tentang fenomena hipster ini.
1. Menurut lo, Hipster itu apa sih?
TW : Kekinian, ikut arus, gak kayak ikan salmon yang ngelawan arus, suka kebawa gara-gara musik yang sama or biar dipikir cool... Masuk ke lingkungan daripada loner
JP : Hipster? Hmm.. People who likes to be center of the world. The one who likes uncommon outfit and lifestyle. They claim themselves as a pioneer, as a trigger, not as a poser. Hipster nowadays is ain’t hipster anymore. They tend to hangout in Starbuck, using Apple products, wearing pastel coloured outfits, and talk about Yoga, coffee, good books and stuff. And most of them looks kinda the same
Ikut Arus dan terlihat sama? Tapi mereka meng-claim diri mereka berbeda. Apa karena saat ini sudah banyak Hipster jadi Hipster sudah menjadi sesuatu yang mainstream?
TW & JP : Exactly!
TW : Saking banyaknya jadi sudah biasa
JP : Maknanya udah ngabur
2. Hipster itu kebanyakan diusia 25 tahun keatas. Usia dimana seharusnya sudah bisa bersikap lebih dewasa secara gesture dan cara pikir, tahu tujuan hidupnya mau kemana. Tapi mereka terlihat seperti masih senang main-main. Gimana menurut lo?
TW: Mereka pikir dengan gaya dan profesi bisa saling angkat. Mungkin saja mereka punya link yang oke. Tapi pada akhirnya orang carinya skill sama attitude. Bukan lo temenan sama siapa atau gaya lo mau gimana.
JP: Yup. Karena dibawah 25 tahun masih peralihan teenager. Mereka mungkin Cuma nge-twist sesuatu yang formal aja jadi terkesan lebih chic dan casual. Balik lagi ke retrofuturistik-post-apocalyptic gitu. But well, no one wants to wear that wools stuff while having activities without AC. LOL.
Mostly mereka masih bergantung sama orang tuanya. Gaji mereka paling berapa sih. Kalo gue lihat teman-teman hipster gue kayaknya gitu. Bener ga sih? Atau Cuma asumsi gue aja?
JP: Ga terlalu paham sih. Kalopun benar mereka ga akan ngaku juga. But I am pretty sure that they supposedly got the money to style up.
3. Mereka suka banget ya diskusi-diskusi heboh gitu. Seperti menciptakan sesuatu yang besar.
JP: Ya... gue pernah nguping. Mereka itu ngomongin vegan, animal rights, good books to read, good coffeeshop, earth friendly fashion, surfing, gitu-gitu deh.
Gue: Misi sosial juga. Sering banget tuh mereka bikin. Gue pernah diajak juga ikutan tapi gue ga punya waktu. Trus ada satu orang yang kayak langsung menatap aneh gitu. Sebenarnya sih bagus mereka punya pikiran gitu. Tapi kan I have to work ada bill yang harus gue bayar....
JP: Ga misi sosial aja. Pokoknya mereka berusaha diskusi tentang hal-hal yang ga umum dibicarakan. That is what made them bunch of hipsters.
4. Sebenarnya keberadaan kaum hipster ini penting ga sih untuk perekonomian terutama ekonomi kreatif?
JP: Penting dong. Mereka ini termasuk dari salah satu tipe audiens juga. Dan ga sedikit dari industri kreatif yang ngonsepin ide mereka based on these hipsters.
TW: Penting kalo banyak kerja, bukan banyak gaya.
Gue: Ya... Ada pengaruh juga ya sebenarnya. Sekali waktu gue pernah datang ke Localfest. Banyak banget stand fashion yang gayanya kekinian lah. Gue melihatnya ya mereka berani untuk buka usaha. Tapi apa usahanya itu bisa kasih profit? Atau cuma musiman aja?
5. Terakhir nih. Pesan untuk para hipster.
JP: Hipsters, please don’t be an ass. Please don’t judge us by the way we wear, by the way we talk, and by the way we hanging out. We are just like you. So stop comparing yourself with us.
TW: Loyal pada profesi bukan sama perusahaan dan lingkungan bergaul.
Itulah beberapa percakapan singkat yang membahas Hipster. Jadi kesimpulannya adalah banyak orang yang tidak nyaman dengan para hipster karena attitude dan sikap jugdemental. Sebenarnya tidak ada masalah untuk memberi label diri seorang hipster. Hipster ini adalah kumpulan orang-orang kreatif. Mereka mampu membawa ide segar. Gue akui itu karena gue bekerja di industri kreatif. Tapi yang bikin gue ga nyaman, mereka kadang sok tahu seakan mereka expert. Gue lihat mereka belum bisa mengolah ide-ide mereka kedalam kenyataan yang sesungguhnya. Mereka masih terlalu cepat berubah-ubah.
Dan saat ini banyak sekali komunitas-komunitas mulai dari komunitas kopi, komunitas film, komunitas pengajar relawan apapun itu, hal itu terbentuk dari para Hipster. Sangat bagus sekali sebenarnya. Mereka mengerjakan sesuatu yang untuk kita yang sebagian orang profesional tak punya waktu untuk melakukan itu.
Sebaiknya memang orang-orang Hipster dan Non Hipster bisa berdampingan. Tanpa ada unsur judgemental. Kita punya karakter yang berbeda. Kita punya sudut pandang yang berbeda. Bukannya kalau semua sama, tak ada lagi keberagaman? Kita harus mampu meredam ego untuk menunjukan siapa identitas kita.
"Orang-orang disekeliling kita cukup berpengaruh besar untuk siapa membentuk diri kita"
No comments:
Post a Comment