Blackhat at Jakarta |
Indonesia sudah cukup banyak dilirik sineas luar negeri sebagai salah satu lokasi syuting. Bahkan beberapanya adalah film Hollywood blockbuster. Sebut saja "Eat, Pray, Love", "Blackhat", dan "King Kong". Selain itu masih banyak project lain seperti TVC dan Series, bahkan film indie. Sebelum menjelaskan lebih jauh, Saya ingin memperkenalkan kepada masyarakat yang bukan bekerja di bidang film. Mereka yang berjasa membawa Indonesia lewat layar perak adalah Gary Hayes dan Tino Saroengallo. Ditangan mereka tercipta kualitas film dan iklan yang grand, disertai para kru yang sangat terampil. Baru saja mereka menutup usia. Dasar sahabat sejati, mati saja jaraknya masih dekat. Pak Tino memang sudah sakit kanker beberapa tahun terakhir. Dan Pak Gary sempat jatuh sakit sebelum menghadap Sang Kuasa. Jasa dan dedikasi mereka akan terus Saya kenang.
Indonesia diberkahi pesona alam yang eksotik. Hutan tropis yang belum terjamah bahkan virgin beach. Tak jarang setiap project pasti menemukan lokasi baru yang bahkan kita sebagai orang lokalpun belum tahu. Selain lokasi, Indonesia juga memiliki cukup sineas yang mampu memenuhi standard kerja International. Seharusnya dengan 2 aset utama ini, Indonesia bisa menjadi salah satu Film Friendly. Untuk syuting di Indonesia masih banyak kendala yang perlu dihadapi.
Syuting di Indonesia tidaklah murah, seperti yang digembar-gemborkan para jajaran pemerintah di Indonesia. Tidak adanya tarif yang jelas dan birokrasi yang berbelit seringkali menyurutkan sineas asing untuk syuting di Indonesia. Sebagai contoh untuk perbandingan, syuting di kota New York hanya diperlukan $750 untuk perizinan lokasi. Sedangkan harga syuting di Kota Tua Jakarta, diperlukan 60 juta. Syuting di Jakarta dalam studio pun bisa mencapai 12-15 juta sehari dengan rata-rata tarif studio 6 juta per-8 jam.
Baca juga: Susah Sinyal lebih mahal dari Critical Eleven
Saat ini digadang-gadang untuk perizinan syuting, dimanapun di wilayah Indonesia bisa dilakukan 1 pintu, melalui Pusbang Film. Pada kenyataannya, Kami tetap harus mengurus izin dari RT/RW, Polsek, Pemda dan preman setempat. Tentunya disetiap tahap tersebut Kami harus menyediakan amplop untuk melancarkan terbitnya surat izin syuting. Itupun tidak bisa menjamin mereka akan 100% bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang mengakibatkan proses produksi terganggu karena faktor eksternal.
Yang membuat biaya syuting di daerah Indonesia mahal juga disebabkan karena infrastuktur yang belum baik. Kami harus mengakali dengan menambah jumlah personil atau menyewa alat khusus yang akhirnya akan muncul cost baru. Biasanya jika syuting di daerah, Kami harus merekrut warga sekitar yang seringkali harga permintaan awal bisa berbeda saat sudah melakukan pekerjaan. Yang bikin kesal terkadang mereka tidak bisa mengikuti pace kerja Kami yang serba cepat.
Baca juga: Tentang Perfilman Indonesia
Beberapa waktu lalu Saya membaca buku "Film Marketing Into The 21st Century". Di dalamnya ada bab yang membahas Marketing Location, salah satunya membahas tentang Film Friendly yang sudah dilakukan New Zealand, dan negara / kota lainnya dibelahan dunia.
Berikut rangkumannya:
1. Di Michigan ada sebuah agency yang menawarkan pelatihan kepada warga lokal, perusahaan dan penyedia jasa fixer untuk memudahkan proses pembuatan film dilokasi tersebut dan memudahkan warga yang ingin bergabung sebagai filmmaker.
Di Indonesia sendiri, Badan Perfilman Indonesia, juga sedang memberikan pelatihan-pelatihan serupa di daerah guna mempersiapkan mereka sebagai lokasi baru untuk syuting film. Kota-kota di Indonesia yang pemerintah daerahnya sudah siap sebagai lokasi syuting antara lain Bandung, Bayuwangi, Siak, dan Yogya. Di Bali pun tak ada kendala berarti karena kesigapan warganya yang juga sudah terbiasa sebagai daerah wisata.
Banyak pula komunitas film di daerah yang menelurkan sineas baru. Bagaimanapun sineas juga perlu regenerasi.
2. Film friendliness sangat penting untuk tempat yang tak memiliki atau sedikit track record sebagai lokasi syuting. Kualitas dan pelayanan yang buruk bisa merusak reputasi tempat tersebut.
Kami sebagai filmmaker lokal pun terkadang kapok syuting di tempat tertentu dan pastinya akan kami blacklist dan tak akan pernah masuk rekomendasi Kami. Pembuatan film itu secara tak langsung turut meningkatkan perekonomian. Karena pastinya Kami akan mempekerjakan warga lokal sebagai porter dan membayar sewa / hotel selama proses syuting berlangsung. Belum lagi Kami akan membutuhkan penyedia konsumsi. Coba bayangkan berapa banyak uang yang harus Kami keluarkan untuk syuting film.
3. Location Marketing tidak sama dengan promosi pariwisata, walaupun bisa saja itu akan menjadi salah satu tujuannya. Lebih dari itu, dengan adanya film friendliness, akan memicu pertumbuhan infrastuktur, baik untuk pariwisata maupun keperluan pembuatan film dikemudian hari.
Jadi tolong kepada jajaran pemerintah, jangan promosikan Indonesia murah untuk syuting film. Selain perizinan yang mahal, upah Kami sebagai pekerjapun tidak bisa dikatakan murah. Ga mungkin Kami mempekerjakan kru yang kemampuannya belum memenuhi standard demi harga murah. Karena Kami bawa nama negara saat bekerja dengan sineas asing.
Walau banyak yang masih awam terhadap pekerja film, secara tak langsung Kami turut berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi. Kami bayar pajak penghasilan, dimana pajak itu akan digunakan untuk pembanguan negara. Berkat industri yang semakin maju, tentunya tercipta lapangan kerja baru. Dalam proses produksi film kurang lebih ada 150 orang yang terlibat. Belum lagi dari sisi distribusi, munculnya bioskop atau channel distribusi baru, tentunya perlu pekerja baru. Berkat film juga berhasil muncul budaya atau trend baru yang lagi-lagi akan meningkatkan dan memperluas pasar.