Monday, July 15, 2024

Coffee Time Story #16 Tinggal Di Kampung Tidak Seindah Narasi Slow Living

Pedesaan Yang Katanya Damai

 

Beberapa bulan ini, dengan terpaksa saya harus pulang ke rumah asli saya di Tangerang untuk sementara waktu. Sejak 2007, saya memilih untuk kost di Jakarta dan sebagian besar saya tinggal di Jakarta Selatan. Daerah impian banyak anak muda. Saya tinggal di Jakarta Selatan sejak 2010 jadi paham kenapa Jakarta Selatan merupakan impian banyak orang. Tapi bagi saya, bukan soal banyaknya tempat gaul atau prestige. Kemudahan akses menjadi prioritas saya, terlebih saya pekerja yang lumayan sering wara-wiri, untuk kerja, meeting atau sekedar memenuhi undangan main kartu.

Keluarga saya sebenarnya Betawi asli. Bapak saya berasal dari Tambora. Entah kenapa sejak menikah dengan ibu saya, bapak memilih beli rumah di Tangerang. Saya lahir di Tangerang dan mengeyam pendidikan di Tangerang dan Jakarta. Tahun 1998, pertama kalinya saya tinggal di Jakarta, tepatnya di Meruya, karena waktu itu ibu saya meninggal jadi keluarga besar sepakat untuk memindahkan saya kesana supaya ada yang mengawasi. Itulah hari-hari terbaik dalam hidup saya. Saya sangat menikmati kehidupan sebagai anak kecil yang tinggal di Jakarta, mau ke rumah om tante juga tidak terlalu jauh, tinggal telepon nanti ada supir yang menjemput. Hingga tahun 2001, lagi-lagi saya harus kembali ke Tangerang. Sejak itu saya bertekad untuk kembali tinggal di Jakarta. Saya merasa blend-in dengan kehidupan anak-anak Jakarta. Lagipula saya kan orang Betawi, kenapa justru ber KTP Tangerang? 


Namanya kehidupan, ada saja kejadian yang tidak bisa kita kendalikan. Sejak Maret saya memutuskan untuk sementara waktu tinggal di rumah saya di Tangerang. Lebih tepatnya rumah saya termasuk area perkampungan. Dipikir-pikir, sayang juga rumah sendiri tapi yang punya rumah tidak pernah tinggal disitu. Niat awal saya mau hidup lebih irit sampai ada project atau pekerjaan yang lebih baik bayarannya. Disinilah persepsi saya tentang hidup di kampung akan bisa lebih tenang dan murah ternyata salah. Tinggal di kampung tidak seindah narasi slow living.


Saya setidaknya bersyukur, tetangga kanan kiri saya baik-baik dan tidak menjengkelkan, paling tidak sampai saat tulisan ini dibuat. Karena sebagian dari mereka juga kaum pendatang seperti saya. Rencana awal untuk mengisi waktu dan uang, saya niat jualan burger kampung di teras rumah. Saya mulai riset berapa harga jual yang pantas, lalu menghitung modal bahan baku. Disini baru sadar, ternyata jika beli via marketplace, biaya kirimnya terasa kemahalan. Saya yang biasanya hanya mengeluarkan uang 25 ribu untuk pengiriman instan, disini bisa 2-3 kali lipat. Dengan pertimbangan waktu dan juga biaya, saya memutuskan mengganti ide jualan. Kali ini saya akhirnya coba jualan cheese roll. Bahan bakunya lebih mudah didapat dan pengerjaannya lebih simple. Awal mula, saya jual 5 ribu untuk kemasan plastik dan 15 ribu khusus Open PO dengan isi lebih banyak. Saya dengan percaya diri menjajakan kreasi saya itu ke bocah-bocah tetangga. Hasilnya? Ga ada yang beli karena dianggap terlalu mahal. Saya agak bingung, rumah saya kan bukan yang kampung banget, apa iya 5 ribu masih terlalu mahal? Sampai akhirnya saya ngobrol dengan penjual makanan di town house dekat rumah saya. Saya melihat banyak penjual makanan yang menutup usahanya, alasannya sepi. Disini culture shock saya dimulai. Kami warga Jakarta itu sangat mudah keluar uang 15 ribu untuk jajan. Ternyata kota-kota penyangga Jakarta ini daya beli masyarakatnya tidak sekuat orang yang tinggal di Jakarta.


Warga Jakarta harus banyak-banyak bersyukur karena banyak moda transportasi yang  nyaman dan murah. Sekarang angkot Jaklingko sudah semakin banyak dan gratis. Ibaratnya kalau kita lagi ga pegang cukup uang, kita bisa memanfaatkan angkot Jaklingko. Mitra ojek atau taxi daring pun lebih bisa memberikan keamanan dan kenyamanan karena terbiasa berinteraksi dengan penduduk kota yang maunya serba cepat. Saya hanya menghabiskan Rp 3.500,- dari tempat saya di Kemang menuju PIK untuk sekedar jajan kaloci. Dibandingkan di Tangerang, saya perlu Rp 5.000,- sampai Rp 6.000,- untuk jalan-jalan ke mall terdekat dengan jarak sekitar 3 KM-4 KM. Karena di Jakarta saya selalu tinggal di wilayah strategis, jika pulang malam dengan taxi, argo saya tidak akan lebih dari Rp 50.000,-. 


Jika bicara usaha kontrakan atau kostan sebagai passive income, tetap di kota akan jadi pilihan yang baik. Kostan harga Rp 3.000.000,-/bulan saja banyak peminatnya. Kontrakan bapak saya hanya bisa disewakan seharga kurang dari 1 juta per-bulan. Tentu dengan lokasi yang aksesnya agak jauh dari pusat hiburan. Jika mau menyewakan dengan harga Rp 1.500.000,- sampai Rp 1.800.000,-, area Karawaci dan Tangerang Selatan bisa dijadikan opsi karena disana banyak masyarakat kelas A-B yang memiliki kemampuan spending lebih besar.


Beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan kalau masyarakat di kampung itu banyak yang berhutang karena tuntutan keluarga. Bukan tanpa alasan, karena saking gotong royong-nya tak jarang para tetangga mau tak mau jadi harus mengeluarkan uang, waktu dan tenaga demi membantu tetangga lainnya yang sedang punya hajat. Sudah lapangan kerja dan upah yang terbatas, masih juga harus menanggung social cost demi terhindar dari bahan cibiran tetangga. Untuk urusan hutang piutang inipun tak kalah menakutkan, bisa saja yang ditagih justru melakukan kekerasan sampai mengucilkan yang menagih hutang. Wah... repot lahir batin ya kalau sepanjang hidup seperti itu. Jika orang-orang di daerah rumah saya masih santun, tapi ada orang-orang dari kampung sebelah yang akan rela datang demi mencari pinjaman. 


Rasanya banyak yang akan sepakat jika lingkungan yang tepat adalah faktor terbesar untuk bisa mendapatkan kehidupan yang berkualitas. Masyarakat disekitar rumah saya sebagian besar memang memiliki keterbatasan horizon atau wawasan. Karena mereka tidak punya role model untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sebenarnya mereka punya keinginan yang besar selayaknya manusia normal. Sayangnya mereka tidak punya akses dan pengetahuan untuk mencapai hal-hal tersebut. Itulah alasan kenapa mereka seringkali terjebak pada situasi yang merugikan mereka. Beda dengan orang yang tinggal di kota, karena lingkungan yang memaksa mereka untuk kompetitif agar bisa hidup layak. Tinggal di kota sangat mudah untuk mendapat akses dan pengetahuan sehingga mereka pun lebih produktif. Karena ketimpangan kualitas SDM ini yang membuat timbul masalah-masalah yang sudah dijelaskan diatas.


Tinggal di kampung akan terasa damai jika disekeliling kita itu hanya kumbang-kumbang, kodok, bunga yang bermekaran dan manusia-manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri sehingga hidupnya terlihat lebih damai. Jadi, apa masih berminat untuk migrasi ke kampung?



No comments:

Post a Comment