Saturday, November 8, 2025

Coffee Time Story #20 Polemik Street Feeding, Obsesi Yang Dibungkus Empati

 


Suatu pagi, di depan sebuah warung makan, seekor kucing duduk tenang menatap pelanggan yang sedang sarapan. Tak lama, seseorang datang dengan kantong plastik berisi makanan kucing, menaburkannya di pinggir jalan. Kucing itu berlari kecil, menyantapnya, lalu pergi. Sepintas, pemandangan ini tampak mengharukan, aksi sederhana yang dianggap bentuk empati terhadap hewan. Namun, di balik momen manis itu, muncul pertanyaan yang jarang diajukan, apakah street feeding benar-benar solusi, atau justru bagian dari masalah yang lebih besar?

Saya punya kucing. Tapi saya tidak menyebut diri saya cat lover. Bagi saya, memelihara hewan berarti komitmen. Memastikan ia divaksin, disteril, dipasangi microchip, dan diberi makanan yang layak. Saya tidak merasa perlu menegaskan identitas “pencinta kucing” hanya untuk menunjukkan kasih sayang. Karena justru dari titik itu, saya mulai merasa risih melihat fenomena street feeding yang makin marak di jalanan.

Saya tidak menyalahkan kucing liar yang datang ke titik-titik pemberian makan. Mereka hanya mengikuti nalurinya. Yang saya pertanyakan adalah para manusia di balik kegiatan itu. Street feeding, yang awalnya merupakan aksi mulia, kini berubah menjadi polemik. Kucing memang terbantu dengan makanan gratis yang dibagikan para cat lovers, tapi lingkungan sekitar sering kali jadi korban. Sisa makanan, kotoran, dan populasi kucing yang tak terkendali menjadikan banyak area perumahan berubah menjadi “ladang ranjau”.

Ketika saya menyampaikan pandangan ini di akun Threads, reaksi yang datang sangat bisa ditebak. Ya, hujatan datang bertubi-tubi. Ada yang menuduh saya tidak punya empati, ada pula yang bilang saya benci hewan. Tapi seperti kata warganet, ada dua kelompok yang konon paling keras kepala, yaitu perokok dan cat lovers. Dan saya mulai mengerti kenapa.
Alih-alih berdiskusi soal tanggung jawab bersama, sebagian dari mereka justru menuntut orang lain yang tidak memberi makan kucing untuk mensterilkan kucing liar. Pertanyaannya, kenapa jadi kita yang harus menanggung tanggung jawab yang bukan kita mulai?

Yang menarik, dari berbagai postingan para cat lovers yang saya baca, sebagian besar isinya bukan hanya tentang kucing, tapi tentang kehidupan pribadi mereka. Kekecewaan terhadap manusia, rasa kesepian, atau luka yang belum sembuh. Kucing menjadi tempat pelarian emosional, penawar dari rasa tak dipercaya dan tak dicintai oleh sesama manusia. Saya tidak menilai itu salah. Hewan memang bisa menjadi sumber kenyamanan. Namun, ketika kasih sayang berubah menjadi kebutuhan emosional yang berlebihan, batas antara cinta dan obsesi menjadi kabur. Mereka mencintai kucing seolah hewan itu satu-satunya makhluk yang tidak akan mengkhianati mereka. Padahal, dalam proses itu, hubungan mereka dengan manusia justru makin renggang.

Menurut saya, itu bukan cinta. Namun obsesi yang dibungkus empati. Empati yang kehilangan keseimbangan dengan logika, dan akhirnya melahirkan sikap “menolong tapi tidak bertanggung jawab”.

Saya sendiri tidak memanjakan kucing saya secara berlebihan. Ia bebas bermain di pekarangan rumah, memanjat pohon kamboja, berburu belalang, dan tetap menjadi dirinya, seekor hewan dengan naluri alami. Saya hanya memastikan satu hal bahwa saya bertanggung jawab atas hidupnya. Termasuk soal sanitasi, kesehatan, dan kesejahteraannya.

Sementara untuk kucing liar, saya percaya mereka punya cara ajaib untuk bertahan hidup. Kalau saya makan di warung dan ada kucing menghampiri, saya beri sedikit makanan yang layak. Jika masih lapar, saya pesan lagi untuk diri saya sendiri. Selesai. Tidak perlu drama, tidak perlu label "Orang baik". Kita sebagai manusia punya kapasitas yang terbatas. Tidak semua hal didunia ini menjadi tanggung jawab kita.

Karena pada akhirnya, street feeding sering kali hanyalah bentuk kasih sayang tanpa komitmen. Tidak perlu vaksin, tidak perlu steril, dan tentu tidak perlu repot menyendok isi litter box. Padahal, mencintai makhluk hidup, manusia ataupun hewan, seharusnya tidak berhenti di rasa iba. Ia butuh tanggung jawab, keseimbangan, dan kesadaran bahwa empati sejati tidak selalu berarti memberi, tapi juga menjaga dampak dari pemberian itu.

No comments:

Post a Comment