Sunday, November 24, 2019

Coffee Time Story #6 Melajang Diusia 30 Tahun

melajangdiusia30

Kurang dari 1 minggu lagi Saya akan meninggalkan usia kepala 2 dan memasuki usia 30 tahun. Tadinya Saya ingin buat tulisan ini pas dihari ulang tahun Saya. Namun jadwal pekerjaan sedang lucu-lucunya, terlalu banyak hal-hal yang tidak bisa diprediksi terjadi. Jadi mumpung ada waktu santai sejenak, Saya mau berbagi tentang pengalaman pribadi, masih melajang di usia 30.




Walau sudah 2019, masih banyak orang yang mencemooh jika kita belum juga menikah sampai usia 30 tahun. Sepertinya menjadi lajang bapuk lebih menakutkan ketimbang hidup terlilit hutang karena kurang dana untuk bayar cicilan. Stigma ini akan semakin berat untuk seorang wanita seperti Saya. Namun keadaan Saya bisa dibilang privilege karena Saya tinggal di Jakarta yang pola pikir masyarakatnya lebih modern dan Saya adalah pribadi yang mandiri sehingga Saya lebih punya banyak pilihan.  Terkadang Saya merasa iba pada orang-orang yang lingkungannya masih sangat konservatif dan tidak punya pilihan. Tak sedikit yang mengalami depresi karena keadaan lajang mereka dianggap aib oleh keluarga.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai orang yang cukup relijius. Tapi mereka masih tidak bisa menerima jika jodohnya memang belum dipertemukan oleh Tuhan. Bukan kah jodoh, rezeki dan maut sudah ditentukan? Lalu buat apa gusar? Saya kadang tertawa jika harus menghadapi orang-orang seperti ini,tapi daripada dianggap tidak proper, Saya tahan saja tawa itu.

Beberapa orang masih belum bosan menanyakan "Kapan nikah?" setiap bertemu. Saya pribadi menerima keadaan 'telat nikah' ini. Saya tidak pernah meraung-raung kepada Tuhan kenapa Saya belum nikah. Karena Tuhan telah memberi Saya begitu banyak nikmat. Kenapa Saya harus kesal jika hanya ada 1 hal yang belum diberikan? Saya bisa sesantai ini karena I feel content with my life. Dengan atau tanpa pasangan, Saya masih bisa bahagia.

Saya bersyukur saat ini karena diberikan kesehatan yang baik, diberikan pekerjaan yang baik, Saya bisa kemanapun sesuka hati, Saya bisa membeli hal-hal yang Saya inginkan dan Saya diberikan kepercayaan oleh orang-orang disekeliling Saya. Saya merasa berharga untuk diri ini. Dan tak pernah terpikir Saya akan menurunkan value Saya hanya demi mendapat label 'laku'.

Tidak ada alasan untuk menunda menikmati hidup. Saya ingin setiap detik waktu Saya bisa berharga dan memberi dampak yang baik. Memang harus banyak sabar menghadapi orang-orang yang pola pikirnya belum terbuka. Dan tidak salah kok jika kita memutus kontak sekalian dengan orang tersebut. Your happiness is top priority.


No comments:

Post a Comment