Sunday, September 13, 2020

Coffee Time Story #10 Dealing With Anxiety

MentalHealth

Sejak bulan Juli Saya mengalami insomnia. Dalam satu minggu ada hari-hari dimana Saya kurang tidur. Mungkin karena kelamaan main handphone saat mau tidur, maka sekarang setiap jam 9 atau 10 malam, Saya mematikan handphone. Cara ini cukup berhasil tapi tak lama. Memasuki bulan Agustus, insomnia Saya lebih parah. Saya baru bisa tertidur menjelang subuh. Dan intensitasnya lebih sering, hampir setiap hari. Hingga puncaknya, Saya sampai tidak bisa tidur sama sekali. Keadaan ini sangat mengganggu dan mengurangi konsentrasi Saya saat bekerja disiang hari. Saya pun mulai khawatir akan kesehatan fisik Saya jika dibiarkan.

Saya cerita ke seorang teman yang punya problem yang sama. Dia memutuskan untuk tes lab dan dari tes tersebut diketahui bahwa asam lambung dia cukup tinggi yang membuat dia sulit tidur. Setelah memperbaiki asupan makan, keadaannya sudah membaik. 

Saya pun segera konsultasi ke dokter umum. Saya minta rujukan apakah Saya harus medical checkup atau test tertentu. Namun karena Saya tidak punya penyakit bawaan, Saya dirujuk ke psikolog atau psikiater. Saya tidak langsung pergi ke psikolog atau psikiater, Saya punya pengalaman kurang enak dengan psikiater, obat anti depresan itu bikin Saya tidak bisa beraktifitas karena diserang kantuk terus-menerus. Akhirnya Saya memutuskan untuk akupuntur.

Setelah akupuntur, Saya merasa lebih baik. Sudah bisa tidur cepat walau terkadang tidak terlalu pulas. Hingga puncaknya, Saya kembali tidak bisa tidur sama sekali. Saya menyerah, pagi itu juga Saya langsung bikin janji dengan psikiater. Saya tuntaskan semua kerjaan dan meeting Saya di pagi hari agar Saya punya waktu untuk berobat.

Tidak seperti pengalaman 10 tahun lalu saat pertama kali ke psikiater, kali ini Saya merasa cocok dengan dokternya. Saya ceritakan keluhan Saya. Dokter juga menanyakan background Saya. Saya juga diberi semacam test. Lalu dokternya juga membacakan karakter Saya dari wajah. 

Hasilnya Saya didiagnosa anxiety. Penyebabnya karena pembawaan karakter, trauma masa lalu, dan kurang support system. Hasil pemeriksaan karakter Saya, yaitu : smart, keukeuh, detail oriented, visioner terlalu berpikir jauh kedepan. Terlebih Saya ENTJ, jadi memang cenderung rawan anxiety. Secara fisik dan perilaku memang tak terlihat, tapi unconscious mind Saya tidak sedang baik-baik saja. Dan saat ini ibaratnya sedang 'meledak' karena dipendam terlalu lama.


Saya disarankan untuk melatih pikiran lebih mindfulness, here and now. Lalu Saya juga diberi obat tidur dan anti depresan dengan dosis yang paling kecil. Saat Saya melihat resepnya diantara sekian macam obat, ada 2 obat yang ternyata lagi-lagi harus Saya konsumsi, yaitu Clobazam dan Kalxetin. 2 obat ini yang dulu sukses bikin Saya seperti zombie. Saya pasrah saja, yang penting Saya bisa tidur. Tapi untungnya, selama pengobatan Saya tidak merasakan lemas atau ngantuk yang berlebihan. Saya merasa normal-normal saja. Mungkin karena takaran dosis yang tepat juga. 

Saya sudah bisa tidur dengan sehat lagi dan tanpa obat tidur. Obat tidur hanya Saya minum 3 malam. Malam pertama 1 tablet, 2 malam berikutnya setengah tablet. 

Jika ditanya apa ada persoalan berat saat ini sampai anxiety, jawabnya tidak. Semua sedang baik-baik saja. I know on this pandemic most of people not on an easy boat. But, I feel ok. Hanya terkadang merasa sedih, ga jelas apa yang disedihin. 

Dari pengalaman hidup ini, Saya ingin bilang ke orang-orang diluar sana. Please, If you are broken, fix yourself. You can destroy anyone's life with your illness behavior. And the pain won't erase easily. Please, support each other. 

Dan yang paling penting, jangan mendiagnosa sendiri. Sakit mental hanya bisa didiagnosa oleh psikolog atau psikiater. Jangan jadikan alasan penyakit mentalmu untuk berperilaku brengsek.




No comments:

Post a Comment