Di era informasi seperti sekarang, banyak orang berlomba-lomba menjadi “pintar" atau setidaknya terlihat pintar. Kita bisa dengan mudah menemukan konten yang membahas teori, opini, bahkan kritik sosial dengan kata-kata yang tampak meyakinkan. Tapi di balik semua itu, ada satu jebakan yang sering tidak disadari, yaitu logical fallacy, kesalahan berpikir yang terlihat masuk akal padahal menyesatkan. Dan lebih dalam lagi, banyak dari ini bukan murni karena ketidaktahuan, tapi karena satu dorongan yang bernama haus validasi.
Berhenti Belajar, Maka Berhenti Bertumbuh
Mengutip kata-kata Dr. Tirta di sebuah podcast bersama Pak Gita Wirjawan, beliau berkata bahwa "orang yang berhenti mencari pengetahuan, maka kariernya akan berakhir". Pengetahuan memang tidak menjamin kesuksesan, tapi dia bisa menjadi fondasi untuk membuka banyak pintu kesempatan.
Namun, banyak orang yang sudah merasa cukup pintar atau sukses justru berhenti belajar. Mereka merasa berada di atas dan di situlah ego mulai bermain. Padahal, secerdas apapun seseorang, jika tidak mampu mengendalikan ego, dia bisa jatuh sejatuh-jatuhnya. Ironisnya, ego yang tidak terkendali ini bisa kalah telak oleh seseorang yang secara akademis mungkin biasa saja, tapi kaya akan pengalaman dan kebijaksanaan hidup.
Kita sering lupa bahwa pembelajaran bukan hanya berasal dari mereka yang kaya dan cerdas. Kadang, pelajaran paling bermakna justru datang dari mereka yang tampaknya "tidak selevel" dengan kita. Orang-orang yang secara sosial mungkin di bawah, tapi secara wisdom, jauh di atas. Sayangnya, banyak yang menutup pintu belajar karena merasa sudah cukup tahu. Dan di situlah kesalahan berpikir mulai menjalar: "Kalau dia bukan siapa-siapa, kenapa aku harus dengar?". Sebuah logical fallacy berbasis superioritas ego.
Haus Validasi, Wabah yang Tak Terlihat
Di sisi lain, dorongan untuk terlihat ‘bernilai’ di mata orang lain sering kali membawa manusia masuk ke lubang adiksi baru: validasi eksternal. Dalam dunia digital dimana banyak orang berlomba mendapatkan atensi ini jadi semacam penyakit wabah.
Salah satu ilustrasi ekstrem bisa kita lihat dalam serial Netflix "Apple Cider Vinegar". Tokoh utama dalam serial tersebut mengarang cerita bahwa ia mengidap kanker dan divonis hidupnya tidak lama lagi. Ia mengunggah kisahnya ke media sosial, dan mendapatkan simpati, atensi, serta dukungan dari para pengikutnya. Atensi ini memberinya rasa diterima dan dibutuhkan sesuatu yang mungkin tidak ia temukan dalam kehidupan nyata.
Namun seiring waktu, atensi itu berubah menjadi adiksi. Ia mulai memanipulasi cerita demi menjaga eksistensinya. Kebutuhan akan validasi tersebut berkembang menjadi tindakan penipuan, dengan motif utama bukan hanya atensi, tapi juga uang.
Narasi Palsu Demi Empati dan Materi
Saya juga menemukan sebuah akun selebgram yang mengaku sebagai janda muda dengan satu anak. Setelah perceraiannya, ia menjalani berbagai operasi plastik dan mengunggah transformasi penampilannya secara terbuka. Dalam unggahannya, ia sering memamerkan hadiah-hadiah mahal dari para followers pria. Sementara itu respons dari followers wanita jadi ingin bisa “sehebat itu”.
Tapi di balik narasi glamor tersebut, muncul kontradiksi. Ia kerap bercerita bahwa mantan suaminya sangat bermasalah seolah ingin membangun simpati publik. Namun dalam beberapa kesempatan lain, ia justru menyebut sang mantan sebagai sosok yang baik tapi hubungan mereka tidak bisa diselamatkan. Inkonsistensi ini membuka celah kecurigaan, mungkinkah narasi kesedihan itu adalah strategi untuk memanen empati yang berujung pada popularitas yang akhirnya akan terkonversi dalam bentuk pendapatan?
Antara Ego dan Validasi
Di sinilah titik temu logical fallacy dan haus validasi terjadi. Ketika seseorang terlalu sibuk membuktikan dirinya kepada dunia, ia bisa jatuh dalam perangkap kebohongan yang dibungkus oleh argumentasi dan emosi. Bukan lagi soal menyampaikan kebenaran, tapi bagaimana membuat narasi yang diterima banyak orang. Dan ketika logika dikalahkan oleh keinginan untuk divalidasi, lahirlah kesalahan berpikir yang terus direproduksi.
Kita perlu berhati-hati. Tidak semua hal yang terlihat “meyakinkan” itu benar. Tidak semua yang banyak divalidasi itu layak dijadikan panutan. Dan tidak semua orang yang “terdengar pintar” adalah orang yang layak didengarkan.
Belajar harus jadi proses tanpa henti. Bukan hanya soal menambah ilmu, tapi juga melatih kepekaan untuk membedakan mana yang logis dan mana yang manipulatif. Sebab di zaman ini, yang paling berbahaya bukanlah kebodohan, melainkan kepintaran yang dipakai untuk menyesatkan.
No comments:
Post a Comment