Serial "Gadis Kretek" tayang perdana secara eksklusif di Netflix beberapa tahun lalu. Saya baru sempat menontonnya beberapa bulan lalu. Serial ini cukup sukses menarik atensi dunia
international terbukti dengan dinobatkan sebagai
top 10 series di Netflix secara global pada tahun 2024. Secara
production design, karya ini memang sangat patut diapresiasi.
Sebelum menonton "Gadis Kretek", saya sudah membaca buku yang ditulis oleh Ratih Kumala ini sebagai dasar cerita. Saya sangat menikmati cerita dengan setting awal 2000-an dan 1960-an ini. Sehingga saya jadi membuat perbandingan antara interpretasi karakter-karakternya untuk versi buku dan serial, terutama karakter sentral yaitu Jeng Yah. Secara personal, saya lebih suka interpretasi Jeng Yah pada buku. Jeng Yah digambarkan sebagai sosok perempuan berdaya namun tetap membumi. Ia kuat, independen, dan berani mengambil keputusan, namun tidak pernah terasa mendominasi karakter lain. Ia adalah Alpha Woman yang ditampilkan lebih humanis, tidak perlu terlalu menonjol untuk menunjukkan kekuatannya. Ia justru hadir sebagai representasi perempuan berdaya yang tetap punya ruang untuk kelembutan. Jeng Yah di versi buku terasa seperti tokoh yang hidup dalam zamannya, tidak melawan sistem demi simbol perlawanan semata, tapi justru menciptakan ruang-ruang negosiasi dalam sistem yang sudah ada.
Sedangkan untuk versi serial, karakter Jeng Yah diinterpretasikan sebagai figur perempuan berdaya dengan referensi stereotype perempuan Indonesia era Kartini, yakni cerdas, tangguh, namun dibingkai dalam narasi patriarki yang kaku. Keberdayaan Jeng Yah di sini justru terasa ketinggalan zaman, atau lebih tepatnya terperangkap dalam cara pandang lama terhadap emansipasi perempuan, yang berfokus pada simbolisasi keteguhan dan pengorbanan. Padahal, latar waktu cerita yang berada di tahun 1960-an seharusnya bisa membuka ruang lebih luas untuk pendekatan karakter perempuan yang lebih relevan dengan konteks sosial politik saat itu. Ditambah pandangan terhadap perempuan diera itu sudah lebih progresif.
Konteks sejarah seharusnya tidak hanya menjadi latar visual atau pemanis narasi, tapi turut membentuk dinamika karakter. Tahun 1960-an di Indonesia adalah era pasca revolusi. Oleh karena itu, interpretasi Jeng Yah yang cenderung kaku dan terlalu simbolik terasa kurang menyatu dengan konteks waktu yang diceritakan. Mungkin jika ada pakar budayawan dan sejarawan bisa menjelaskan tentang interpretasi ini apakah sesuai dengan konteks setting waktu.
Sayapun paham, dalam pembuatan sebuah karya audio visual, merupakan buah pikir kolektif. Namun dalam karya yang mengangkat sejarah dan perjuangan perempuan, cara sebuah karakter dihidupkan menjadi sangat penting. Ia bukan sekadar tokoh dalam cerita, tapi bisa menjadi representasi dari bagaimana kita membaca ulang sejarah dan meletakkan posisi perempuan di dalamnya.
No comments:
Post a Comment